Oleh : Dr Supardi, SH., MH
Kepala Kejaksaan Tinggi Riau
Als. Rd Mahmud Sirnadirasa
بِسْمِ اللّٰ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ مِ
وَالصَّلََة وَالسَّلََ م عَلَى محَمَّ د وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْ ن فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ
وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَ ا رَبَّ الْعَالَمِيْ ن
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Saudaraku yang dikasihi Allah SWT. Menyayangi makhluk adalah bukan semata-mata karena kepentingan kemanusiaan untuk sekedar dikatakan sebagai manusia beradab. Perintah tersebut merupakan sebuah “Titah Langit” yang turun dari Allah SWT. Sebagaimana dikatakan dalam hadist Rasulullah SAW
: الرَّاحِ موْنَ يَرْحَ م ه م الرَّحْمَ ن، اِرْحَ موْا أَهْلَ الَْْرْضِ، يَرْحَمْ كمْ مَنْ فِي السَّمَآءِ
“Orang-orang yang saling berkasih sayang akan disayang oleh Dzat yang maha penyayang.
Maka sayangilah penduduk bumi maka yang berada di atas langit akan menyayangi kalian.” (HR. Abu Dawud, No. 4941). Mursyid kami dalam bertarekat Syeikh Ma’ruf al-Karkhi, yang diceritakan dalam Kitab Tadzkirat al-Auliyã’ dan Thabaqãt al-Shûfiyyah, beliau memiliki nama lengkap Ma’ruf bin
Fairuz. Dimana Ma’ruf al-Karkhi memiliki kuniyah Abu Mahfudz, sementara itu al-Karkhi di belakang namanya dinisbatkan pada wilayah Karkh, Baghdad. Mursyid kami ini masyhur dengan kezuhudan dan laku prihatinnya. Setiap orang yang berjumpa dengan Ma’ruf al-Karkhi selalu “tabarrukan”, minta untuk dido’akan.
Ma’ruf al-Karkhi lahir sekitar tahun 750-760 an Masehi atau jika dikonversikan ke Hijriyah sekitar tahun 130-140 an, namun ihwal tahun kematiannya, al-Khaṭib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad mencatat ada tiga pendapat berbeda, ada yang berpendapat 200 H, 201 H, dan 204 H.
Namun, yang pasti Ma’ruf al-Karkhi meninggal di sekitaran tahun 200 H. Salah satu amalan yang rutin dikerjakan Syeikh Ma’ruf al-Karkhi adalah berpuasa. Suatu ketika, menjelang beliau wafat, ia menderita sakit. Seorang laki-laki yang menjenguk Ma’ruf al-Karkhi lalu menanyakan ihwal puasa yang dijalani Ma’ruf al-Karkhi. “Wahai Syeikh Ma’ruf al-Karkhi, katakan kepadaku tentang amalan puasa yang engkau jalani?” Tanya laki-laki itu. “Puasaku ini sebagaimana puasanya Nabi Isa a.s,” jawab Ma’ruf al-Karkhi. “Wahai Syeikh Ma’ruf al-Karkhi, katakan kepadaku tentang amalan puasa yang engkau jalani?” Tanya laki-laki itu sekali lagi.
“Puasaku ini sebagaimana puasanya Nabi Daud a.s,” jawab Ma’ruf al-Karkhi. “Wahai Syekh Ma’ruf al-Karkhi, katakan kepadaku tentang amalan puasa yang engkau jalani?” Lagi-lagi lelaki itu menanyakan hal yang sama.
“Puasaku ini sebagaimana puasanya Nabi Muhammad s.a.w,” jawab Ma’ruf al-Karkhi. Lelaki yang bertanya itu sepertinya belum puas dengan jawaban Syekh Ma’ruf al-Karkhi. Ia pun kembali menanyakan pertanyaan yang sama.
“Wahai Syekh Ma’ruf al-Karkhi, katakan kepadaku tentang amalan puasa yang engkau jalani?” tanya laki-laki itu penasaran. “Aku menjadikan sepanjang hariku berpuasa, namun jika ada orang yang mengajak atau mengundangku makan, maka aku akan makan tanpa mengatakan bahwa aku sedang berpuasa,” pungkas Syeikh Ma’ruf al-Karkhi.
Setelah mendapat jawaban itu, lelaki yang bertanya tadi lantas berhenti bertanya. Pada kisah yang lain al-Khaṭib al-Baghdadi menceritakan dalam catatannya di Tarikh Baghdad, bahwa suatu hari Syeikh Ma’ruf al-Karkhi sedang dalam perjalanan dan ia pun sedang dalam keadaan berpuasa Sunah, namun di tengah perjalanan tiba-tiba ada orang dermawan yang menyedekahkan air.
Orang dermawan itu lalu berdoa, semoga yang meminum air ini mendapat rahmat dari Allah.
Doa itu pun didengar Ma’ruf al-Karkhi, ia pun segera membatalkan puasanya dengan air dari orang dermawan itu dan Ma’ruf al-Karkhi berharap mendapat rahmat Allah dari air yang ia minum.
Dari sekelumit kisah ini, kita dapat mengambil pelajaran bahwa penghormatan kepada kebaikan sesama ternyata tak kalah pentingnya dari amalan ibadah puasa demi meraih keridhaan Allah SWT. Kututup risalah ini dengan do’a:
اَللٰ همَّ اغْفِرْ لِمَشَايِخِنَا وَلِمَنْ عَلَّمَنَا وَارْحَمْ همْ، وَأَكْرِمْ همْ بِرِضْوَانِكَ الْعَظِيْمِ، فِي مَقْعَد ال صدْقِ
عِنْدَكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
Allâhummaghfir limasyâyikhinâ wa liman ‘allamanâ warhamhum wa akrimhum biridlwânikal ‘adhzîm fî maq’adish shidqi ‘indaka yâ arhamar râhimîn
Wahai Allah ampunilah guru-guru kami dan orang yang telah mengajar kami. Sayangilah mereka, muliakanlah mereka dengan keridhaan-Mu yang agung, di tempat yang disenangi di sisi-Mu, wahai Yang Maha Penyayang di antara penyayang.
(Imam al-Haris al-Muhasibi, Risâlah al-Mustarsyidin, Dar el-Salam, halaman 141).
Pekanbaru 5 April 2023