Sejagatnews.com | Jakarta – Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Prof Hamzah Halim.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Prof Hamzah Halim juga ikut mencermati langkah judicial review kewenangan Kejaksaan dalam menangani perkara tindak pidana korupsi ke Mahkamah Konstitusi yang dilakukan oleh M. Yasin Jamaluddin seorang pengacara tersangka tindak pidana korupsi Plt. Bupati Mimika Johannes Rettob yang tengah ditangani oleh Kejaksaan.
Uji materi yang dilakukan tersebut yakni terhadap kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Pasal 28 D ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Judicial review yang diajukan yang bersangkutan saat ini teregister di Mahkamah Konstitusi dengan Nomor 28/PUU-XXI/2003. Dalam petitum gugatannya, Yasin sebagai pengacara terdakwa Plt. Bupati Mimika Johannes Rettob meminta agar Hakim Konstitusi membatalkan Pasal 30 Ayat (1) Huruf D Undnag-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kemudian ada Pasal 39 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diminta untuk dibatalkan.
Selain itu, Yasin juga meminta agar Hakim Konstitusi menghapus frasa “Kejaksaan” dalam Pasal 44 dan Pasal 50 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal-pasal tersebut dianggap sang penggugat M. Yasin bertentangan dengan Pasal 28 D ayat 1 UUD NRI Tahun 1945.
Terhadap upaya judicial review yang diajukan pengacara terdakwa M. Yasin tersebut di atas, menurut Dekan fakultas Hukum Unhas Prof Hamzah Halim, maka dapat dicermati dari beberapa pendekatan, antara lain pendekatan historis.
Dari hasil penelusuran yang dilakukannya, Prof Hamzah mengatakan, judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi oleh Kejaksaan ditemukan data bahwa sudah 4 kali diajukan judicial review dan sudah 4 kali juga diputus oleh Mahkamah Konstitusi, yakni Putusan MK Nomor: 28/PUU-V/2007 tanggal 28 Maret 2008, Putusan MK Nomor: 49/PUUVIII/2010, Putusan MK Nomor: 16/PUU-X/2012 tanggal 8 Oktober 2012 dan Putusan MK Nomor: 21/PUU-XII/2014 tanggal 16 Maret 2015.
Terhadap keempat perkara tersebut, kata dia, Mahkamah Konsisten dengan putusannya menolak semua PUU tersebut, bahkan memperkuat kewenangan penyidikan tindak pidana korupsi yang dimiliki oleh Kejaksaan dengan menyatakan bahwa kewenangan Kejaksaan tersebut tidaklah bertentangan dengan Pasal 28 D ayat 1 UUD NRI Tahun 1945.
“Artinya bahwa dari aspek historis, Mahkamah Konstitusi telah mengadili perkara PUU kewenangan Kejaksaan dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana korupsi sudah empat kali menolak PUU tersebut,” ucap Prof Hamzah.
“Dengan demikian dalam pandangan saya judicial review yang dilakukan oleh M. Yasin pengacara tersangka kasus tindak pidana korupsi Plt. Bupati Mimika ini hasilnya akan bernasib sama dengan 4 judicial review sebelumnya yakni akan ditolak/ tidak dikabulkan,” Prof Hamzah menambahkan.
Ia mengatakan, salah satu penyebab hal itu, oleh karena batu uji yang akan digunakan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi dalam menguji perkara PUU yang diajukan M. Yasin tersebut, masih sama dengan batu uji yang digunakan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus 4 PUU sebelumnya.
“Jadi rasanya sulit bagi Hakim Mahkamah untuk mengambil putusan yang bertentangan dengan 4 putusan PUU sebelumnya,” ungkap Prof Hamzah.
Selanjutnya, menurut dia, menanggapi persoalan judicial review yang dimaksud dapat dilihat dengan pendekatan substansi.
Jika dicermati substansi dari Pasal yang dijudicial review oleh M. Yasin, yakni Pasal 30 Ayat (1) Huruf D Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, kemudian ada Pasal 39 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diminta untuk dibatalkan. Selain itu, juga meminta agar Hakim Konstitusi menghapus frasa “Kejaksaan” dalam Pasal 44 dan Pasal 50 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal-pasal tersebut dianggap sang penggugat M. Yasin bertentangan dengan Pasal 28 D ayat 1 UUD NRI Tahun 1945.
“Maka dalam kajian saya rasanya rumusan ketentuan pasal-pasal dimintakan dibatalkan tersebut sama sekali tidak memiliki pertentangan dengan substansi Pasal 28 D ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 yang akan dijadikan batu uji oleh Hakim Mahkamah Konstitusi dalam memutus pengajuan judicial review oleh saudara M. Yasin tersebut,” jelas Prof Hamzah.
Demikian juga dari sisi pendekatan politis. Di mana, kata Prof Hamzah, dari sisi pendekatan politis terhadap pengajuan judicial review oleh M. Yasin pengacara tersangka kasus tindak pidana korupsi Plt. Bupati Mimika, justru conflic of interestnya yang sangat kental.
Yang pertama, ungkap Prof Hamzah, nampaknya pengajuan judicial review oleh M. Yasin itu adalah merupakan salah satu langkah strategi sebagai seorang pengacara untuk mencarikan jalan kliennya dapat lepas dari jerat hukum tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kliennya.
Yang kedua, sangat besar kemungkinan kelompok-kelompok atau oknum-oknum koruptor kelas kakap yang sukses melakukan upaya pelemahan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu di saat KPK waktu itu memiliki tingkat kepercayaan yang paling tinggi dari masyarakat diantara semua lembaga penegak hukum di republik ini.
“Sepertinya pola yang sama hendak dimainkan oleh kelompok ataupun oknum-oknum yang sama saat itu untuk kemudian digunakan dalam melemahkan atau bahkan mengamputasi kewenangan institusi Kejaksaan yang menurut banyak Lembaga survey saat ini menjadi institusi penegak hukum yang paling dipercaya oleh rakyat Indonesia dalam melakukan pemberantasan korupsi,” terang Prof Hamzah.
Peluang ke arah itu, kata dia, sangat terbuka lebar jika melihat kiprah Kejaksaan setahun terakhir ini yang banyak membongkar dan menangani perkara-perkara mega korupsi di republik ini.
Ia menduga bahwa Langkah pengacara kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan ini yakni M. Yasin seakan merupakan Langkah yang dimaksudkan untuk mengganggu atau mengalihkan focus institusi Kejaksaan dari focus dalam mengusut dan membongkar kasus mega korupsi beralih kepada menghadapi judicial review yang sudah berulang kali diajukan untuk melucuti kewenangan Kejaksaan dalam penaganan perkara korupsi, meskipun hasil judicial-judicial tersebut hasilnya selalu sama yakni ditolak atau tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Prof Hamzah secara pribadi sangat berharap institusi Kejaksaan tidak terganggu konsentrasi dan energinya dalam mengejar para koruptor dan mengusut serta membongkar kasus-kasus mega korupsi di republik ini, terlebih lagi kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemberantasan korupsi yang dilaksanakan institusi Kejaksaan akhir-akhir ini sangat tinggi, bahkan tertinggi diantara semua institusi penegak hukum yang ada.
“Ini yang harus focus dijaga dan ditingkatkan lagi kedepan. Tidak perlu terlalu risau dengan berbagai manuver dan upaya-upaya perlawanan dari kelompok atau para oknum koruptor, tetap focus mengoptimalkan pelaksanaan kewenangan, fungsi dan tugas Kejaksaan, terutama dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi, rakyat bangsa Indonesia menantikan itu,” Prof Hamzah menandaskan. (Dhn)